ari3yanto.com – Cerbung (cerita bersambung) ini berselang 2 tahun dari cerita fiksi Sepatu Baru Reina (Bagian 1), yang belum baca Bagian 2 nya bisa klik linknya. Bagaimana cerita lanjutannya yuk simak terus cerita tentang Reina ini.
Bagian 3 – Sebaris Rindu
Pak Sulaeman mendengar kabar dari Mak Sumi dan juga warga yang mengantar Mak Sumi sampai kerumah, bahwa anak kesayangannya mengalami musibah tetapi tetap nekat berangkat sekolah, hatinya sangat khawatir akan kondisi anaknya dia segera bergegas menyusul Reina ke sekolah.
Dia paham akan sifat anaknya itu yang memang memiliki keinginan kuat walau sedang merasa sakit pun dia tidak akan menyerah dan mundur, sama seperti almarhumah ibunya. Walau dalam pikiran Pak Sulaeman merasa tenang karena menurut informasi bahwa Reina hanya luka ringan, tetapi dalam hatinya tetap saja khawatir kalau ada luka yang parah di tubuh anaknya.
Sesampainya di sekolah Pak Sulaeman langsung memeluk Reina, dia memeriksa setiap bagian tubuh anaknya dengan teliti khawatir kalau ada luka lain selain yang terlihat. Sebagai seorang laki-laki yang tangguh dia juga akan merasa sedih jika melihat anaknya sakit seperti itu, walau hanya luka ringan tetapi hatinya bagai disayat-sayat, mengapa ada yang tega menyerempet anaknya dan langsung pergi tanpa menolong bahkan tanpa ucapan maaf.
Ingin rasanya dia kembali mengulang kejadian tadi pagi, mengantarkan Reina ke sekolah dengan begitu mungkin pagi tadi tidak akan ada kejadian yang membuat anaknya terluka seperti ini. Setelah berbicara panjang lebar dengan Bu Indah, dia pamit membawa Reina pulang dan Bu Indah memberikan izin kepada Reina untuk istirahat terlebih dahulu di rumah.
Pak Sulaeman sedang ada pekerjaan di luar kota yang tidak bisa ditinggalkannya. Mak Sumi yang mengurus Reina selama Pak Sulaeman keluar kota, sebenarnya Reina bisa mengurus diri sendiri karena dia sudah terbiasa mandiri dan itu adalah hal yang selalu dikatakan dan diajarkan oleh ibunya, bahwa seorang anak perempuan harus bisa mandiri dan tidak boleh cengeng.
Berbagai pekerjaan rumah bisa dilakukan oleh Reina, bahkan naik ke atap rumah untuk mengganti genting pun bukan suatu masalah baginya. Untuk anak seumuran Reina pada saat sekarang ini terhitung sangat luar biasa, di saat teman-teman seusianya asyik bermain dia memilih mengerjakan pekerjaan rumah, jadi saat ibu dan bapaknya pulang rumah sudah bersih. Tetapi kali ini Pak Sulaeman meminta tolong kepada Mak Sumi untuk merawat dan menemani Reina sampai dia pulang besok.
Selama di rumah Reina terlihat murung dan juga sering melamun.
“Neng Reina, kenapa dari kemarin murung terus?”
“Apa masih merasa sakit lukanya?, atau marah sama Mak Sumi?” Tanya Mak Sumi kepada Reina.
Reina menjawab dengan gelengan dan juga senyuman.
“Rei sedih Mak, karena kemarin itu gagal menjadi petugas upacara, padahal kemarin itu kesempatan pertama Reina untuk menjadi petugas pengibar bendera.”
“Padahal Rei sudah berlatih selama seminggu sepulang sekolah, tetapi kemarin tidak jadi bertugas Mak.” Kata Reina.
“Jangan bersedih Neng, seperti itulah hidup, apa yang sudah kita usahakan dengan sungguh-sungguh belum tentu bisa menjadi kenyataan.”
“Seperti saat ini, Neng seharusnya tetap bersyukur karena kita masih bisa berkumpul seperti ini dan Neng masih bisa bertemu bapak.” Kata Mak Sumi.
Mata Reina menjadi berkaca-kaca mendengar perkataan Mak Sumi, memang semua itu pasti ada hikmahnya, coba saja kalau kemarin itu dia benar-benar tertabrak langsung dan bukan terserempet mungkin saja lukanya bisa lebih parah lagi dari sekarang atau bisa saja saat ini dia tidak bisa bertemu bapak, pasti bapak akan sangat sedih sekali. Dia membayangkan wajah bapak yang sedih, pada saat ditinggal ibu dahulu bapak jadi murung berhari-hari hingga pada suatu saat pakde datang dan memberi nasihat kepada bapak, barulah bapak menjadi semangat lagi.
“Mungkin di lain waktu Neng bisa menjadi petugas upacara lagi, pasti akan ada kesempatan.” Kata Mak Sumi sambil tersenyum.
“Terima kasih nasihatnya Mak, Rei bisa semangat lagi.” Jawab Reina sambil tersenyum.
Mak Sumi memeluk Reina dengan kasih sayangnya, seperti layaknya anaknya sendiri.
Di luar sana tetesan air mulai turun membasahi bumi, seakan ikut melarutkan rasa rindu dari kedua perempuan itu, di mana yang satu rindu akan anaknya yang sampai sekarang tidak memberikan kabar dan yang satu lagi rindu akan pelukan seorang ibu.
(Bersambung)