Cerita ini berselang 2 tahun dari cerita fiksi bersambung Sepatu Baru Reina (Bagian 1), bagaimana cerita lanjutannya yuk simak terus cerita tentang Reina ini.
Bagian 2 – Awal Baru
Si Jago sudah berkokok sedari subuh, Reina pun sudah siap dengan baju putih merahnya, hari ini adalah hari pertama Reina menjadi petugas pengibar bendera dan untuk gladi bersih biasanya para petugas harus tiba 30 menit lebih awal di sekolah. Reina sangat senang sekali dan sepagi ini dia sudah siap untuk segera berangkat.
Pak Sulaeman ayah Reina juga sudah menyiapkan bekal makan untuk anak semata wayangnya itu, nasi oseng tempe dan telur mata sapi adalah menu kesukaan anaknya.
“Reina berangkat sekolah dulu, Pak.” Pamit Reina, tangan mungilnya menarik tangan Pak Sulaeman dan menciumnya.
“Hati-hati dijalan Nak, semoga lancar upacaranya.” Jawab Pak Sulaeman sambil mengusap kepala Reina.
“Assalamualaikum, Pak.”
“Waalaikumsalam.”
Reina segera mengayuh sepeda warna biru yang catnya sudah mulai pudar. Semilir angin pagi menerpa wajahnya, rambutnya yang terurai panjang sebahu melambai, anak rambutnya bermain dengan lincah menyapu wajah ayu yang masih tanpa riasan, kulitnya yang kuning langsat, murah senyum dan ceria membuat semua orang tahu kalau dia yang bernama Reina.
Reina gadis cilik kelas lima sekolah dasar, dia suka menggambar dan berhitung. Jika besar nanti dia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter yang bisa menolong orang dengan memberikan pengobatan gratis.
Pak Sulaeman, bapak Reina adalah orang yang ulet bekerja, 2 tahun yang lalu istrinya meninggal karena sakit dan terlambat untuk dibawa ke rumah sakit. Ibu Reina semasa hidupnya adalah sosok wanita yang dia rela bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, hingga saat sakit pun dia sembunyikan dari suaminya dan anaknya karena dia tidak ingin mereka khawatir. Sepeninggal istrinya, Pak Sulaeman bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, terkadang anaknya juga harus di rumah sendiri karena dia harus menyelesaikan pekerjaan di luar kota.
Wajah senang sekaligus sedih Pak Sulaeman saat melepas putri kecilnya berangkat sekolah, senang karena putrinya mendapatkan kesempatan menjadi petugas pengibar bendera, sedih karena melihat sepatu anaknya yang sudah banyak jahitan tetapi dia belum bisa membelikan sepatu baru. Uang yang disisihkan belum cukup untuk membeli sepatu baru, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah terbilang pas-pasan, apalagi untuk membelikan sepatu baru.
***
Jalanan pagi ini begitu ramai, Khawatir dia tidak akan sampai tepat waktu ke sekolah, Reina mengayuh sepedanya dengan kencang. Di depan gang dia melihat Mak Sumi sedang kebingungan untuk menyeberang jalan, kedua tangannya membawa tas belanja yang cukup besar dan ada satu karung berisi sayur mayur tergeletak di dekatnya, Mak Sumi adalah tetangga Reina, rumahnya tepat di belakang rumah Reina, dia membuka warung kelontong di rumahnya dan juga berjualan sayur saat pagi.
Wanita yang berusia paruh baya itu memiliki rabun jauh yang sudah akut, walau sudah memakai kacamata yang tebal tetapi masih saja belum bisa melihat jauh dengan jelas. Dia mempunyai dua orang anak yang sudah lama merantau ke luar negeri, jangankan kabar pulang menjenguk ibunya saja belum pernah.
Reina sering menolong Mak Sumi yang sedang kesusahan, di rumah sehabis belajar dia pasti membantu Mak Sumi di warungnya. tanpa pikir panjang dia menghentikan sepeda dan memarkirnya di pinggir jalan.
“Ayo Mak, Reina bantu menyebrang.” Kata Reina.
“Eh, Neng Reina, iya terima kasih ya Neng” Jawab Mak Sumi.
Reina dengan sigap membawa keranjang belanja Mak Sumi, sedangkan Mak Sumi menggendong karung berisi sayur mayur, saat jalanan sudah mulai lengang Reina segera mengajak Mak Sumi menyeberang jalan.
“Brak!”
Sebuah motor yang dari kejauhan tadi terlihat pelan ternyata tidak mengurangi kecepatannya saat melihat Reina dan Mak Sumi menyeberang, akhirnya menyerempet keranjang belanja yang dibawa Reina, tubuh Reina terseret dan terhempas cukup keras ke jalan beraspal, karena ketakutan akan dihakimi oleh masyarakat pengendara motor itu melarikan diri, beberapa orang yang berusaha menghentikan pengendara motor itu juga tidak berhasil menghentikannya.
Reina meringis kesakitan, dia melihat baju sekolahnya yang berwarna putih kotor, lutut dan tangannya luka lecet dan memar, untungnya luka Reina tidak terlalu parah. Dia bergegas berdiri dan membantu Mak Sumi yang juga sempat jatuh karena tertabrak tubuh Reina, isi keranjang belanja berhamburan di jalan. Suasana bertambah ramai, pengendara motor berhenti dan penasaran dengan apa yang terjadi, warga pun mulai bergegas membantu membereskan kekacauan yang ada di jalan raya serta mengatur lalu lintas agar lancar kembali.
“Neng Reina tidak apa-apa?” Tanya Mak Sumi sambil memeriksa tubuh Reina.
“Tidak apa-apa Mak, Reina lanjut berangkat sekolah ya Mak.” Jawabnya sambil berpamitan dengan Mak Sumi.
Luka seperti itu tidak menyurutkan niat Reina untuk tetap berangkat sekolah dan menunaikan tugasnya sebagai pasukan pengibar bendera.
“Aduh Neng, ini tangan dan kakinya luka berdarah, kalau sakit jangan berangkat sekolah dulu, diobati dulu lukanya.” Kata Mak Sumi sambil memegangi tangan Reina mencoba mencegah gadis kecil itu untuk berangkat sekolah.
“Tidak apa-apa Mak, nanti sampai sekolah Reina minta obat sama ibu guru.” Kata Reina sambil tersenyum.
Mak Sumi hanya mengangguk dan memandang kepergian gadis cilik itu, dia tahu Reina anak yang tidak bisa dilarang dan dicegah jika punya kemauan yang kuat. Suasana sudah mulai normal seperti semula, belanjaan Mak Sumi juga sudah dibereskan oleh warga yang membantunya.
Sepeda mini Reina melaju dengan kencang, di pikirannya dia tidak ingin terlambat karena ini adalah tugas perdananya sebagai pengibar bendera, selain itu dia takut dimarahi oleh guru karena terlambat ikut gladi bersih, nyeri di kakinya pun tidak dia rasakan, walau darah masih keluar dari lukanya.
Pukul 06.45 tepat dia sampai ke sekolah, setelah memarkirkan sepedanya di parkiran depan, Reina segera berlari menuju kelas untuk menaruh tasnya, Bu Indah wali kelas Reina kebetulan juga sedang berada di dalam kelas untuk mencari Reina yang belum terlihat siap di lapangan untuk gladi bersih.
“Re, kamu kenapa bajumu kotor sekali dan itu luka di tangan dan kakimu, ayo ikut ibu ke UKS biar ibu obati lukanya.” Bu Indah bertanya dengan wajah cemas melihat kondisi Reina.
“Kamu kenapa Re, jatuh ya?” Sambung Bu Indah, tangannya menggandeng Reina dan mengajaknya menuju UKS.
“Bu, Reina jadi petugas pengibar bendera.” Kata Reina, matanya berkaca.
“Iya Re, tetapi lukamu harus segera diobati nanti kalau terkena infeksi bagaimana coba?” Bu Indah berkata sambil tersenyum menenangkan Reina.
“Maaf ya Re, nanti tugasmu biar digantikan oleh Fajar, kamu istirahat saja dulu.” Sambung Bu Indah lagi.
“Tetapi Bu…” Ucapan Reina terhenti, dia tidak bisa menahan air matanya yang sudah jatuh membasahi pipinya.
Sesampainya di UKS, Reina menangis sejadi-jadinya, menangis karena merasa sakit akan lukanya dan juga rasa kecewa karena tugas perdananya tidak bisa dilaksanakan. Bu Indah yang mengobati dan membersihkan luka Reina berusaha menenangkannya tangisan Reina, sedangkan di luar sana upacara sedang berjalan tanpa ada Reina sebagai petugas pengibar bendera.
Bersambung ya…
wah ceritanya asik sekali dibaca, tak sabar menunggu lanjutannya